Sinoman: Tradisi yang Menghidupkan Jiwa

Sinoman Menuju Akad Nikah Kang Mas Faiz BT

Lemahbang Soko Sejuk

Orang-orang tua kita dulu tak banyak bicara soal dakwah, tapi mereka menjalaninya dalam hidup. Mereka tak sibuk berteori soal ukhuwah, tapi mereka menata hidup dengan saling membantu dan guyub rukun. Salah satunya lewat tradisi yang mungkin kini mulai jarang dibicarakan: sinoman.

Sinoman itu kumpulan anak-anak muda di kampung yang bergiliran bantu tetangga kalau ada hajatan. Kadang bantu masak di dapur, kadang ngangkat kursi, nyaji tamu, atau sekadar beres-beres tempat. Nampaknya sepele, tapi di dalamnya banyak sekali nilai yang diam-diam menghidupkan jiwa.

Dalam sinoman, anak-anak muda belajar tanggung jawab tanpa dimarahi. Belajar kerja sama tanpa diberi rapor. Belajar sopan santun tanpa ceramah panjang. Dan yang paling penting: mereka belajar peduli.

Islam dari dulu mengajarkan tolong-menolong dalam kebaikan. “Wa ta‘āwanū ‘ala al-birri wa at-taqwā,” kata Al-Qur’an. Nah, sinoman ini contohnya. Tidak ada gaji, tidak ada target. Tapi semua dikerjakan dengan senang hati, karena merasa jadi bagian dari kehidupan bersama. Bukan kerja bakti karena takut dikucilkan, tapi hadir karena merasa terpanggil. Ini ajaran besar yang dijalankan dengan cara sederhana.

Rasulullah mengingatkan kita untuk menyambung tali silaturrahim. Dalam sinoman, silaturrahim itu terjadi secara alami. Tidak dibuat-buat. Orang-orang saling sapa, saling canda, saling bantu. Kadang dari obrolan ringan itu, muncul rasa sayang, muncul damai. Dan itu, menurut saya, jauh lebih bermakna dari ribuan status dakwah yang hanya lewat di layar.

Anak-anak muda yang terbiasa ikut sinoman biasanya tumbuh jadi orang yang bisa diandalkan. Mereka tahu rasa sungkan, tahu rasa hormat. Tahu kapan harus diam dan kapan harus bergerak. Semua itu bukan diajarkan lewat buku, tapi lewat kebiasaan yang dihidupi bersama.

Kadang saya berpikir, betapa pintarnya orang-orang tua kita dulu. Mereka tidak memakai istilah-istilah muluk, tapi mereka berhasil menciptakan tradisi yang membuat hidup ini lebih manusiawi. Sinoman itu salah satu warisan mereka. Dan kita, seharusnya tak sekadar mengenangnya—tapi menjaganya.

Karena di tengah dunia yang makin sibuk dan individualis, sinoman mengajarkan kita: bahwa hidup bukan hanya soal aku dan kamu, tapi soal kita. Soal saling menanggung, saling bantu, saling hadir. Dan bukankah itu inti dari ajaran Islam kita?


Similar Posts